Secara historis, nama Banyuwangi tidak dapat dilepaskan dari nama Blambangan, Bahkan masyarakat menganggap keduanya sebagai sesuatu tidak berbeda. Pemahaman semacam ini dilatar belakangi oleh sikap rasa memiliki terhadap Blambangan sebagai cikal bakal keberadaan banyuwangi sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat lebih mengenal banyuwangi dengan istilah Blambangan. Masyarakat menganggap banyuwangi merupakan nama ibukota kabupaten, Sedangkan Blambangan merupakan nama daerah atau wilayah. Meskipun demikian, secara formal pemerintah dan masyarakat Banyuwangi tersebut berkaitan erat dengan nama sebuah kerajaan yang berdiri di wilayah banyuwangi dengan pusat pemerintahan di daerah Macan Putih (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Rogojampi). Kerajaan Blambangan senantiasa menjadi ajang rebutan pengaruh antara kerajaan Jawa dan Bali sehingga sering menjadi vasal kerajaan lain di Jawa dan Bali.
Ketika Majapahit berkuasa daerah Blambangan dikuasai Kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, daerah itu diserahkan kepada Arya Wiraraja karena ia dianggap banyak berjasa kepada Raden Wijaya. Setelah Arya Wiraraja meninggal, daerah itu kemudian diwariskan kepada puteranya yang bernama Arya Nambi, pada tahun 1316 Blambangan melakukan pemberontakan kepada Kerajaan Masjapahit. Akan tetapi, pemberontakan itu dapan dipadamkan oleh Patih Gajah Mada. Kemudian, Patih Gajah Mada mengangkat putera Dang Hyang Kepakisan yang tertua, Yakni Dalem Juru, sebagai penguasa di Blambangan. setelah kerajaan Majapahit runtuh, wilayah Blambangan menjadi ajang rebutan Kerajaan Bali, Pasuruan dan Mataram.
Pada kepemimpinan Dewa Agung dari Gelgel, kerajaan blambangan berada di bawah pengaruh kerajaan Bali sehingga Mataram memperluas serangannya ke Bali. Ketika di bawah pengaruh Kerajaan Mataram, Blambangan dipimpin oleh Santaguna. Pada tahun 1636 pasukan Sultan Agung berhasil menaklukkan Blambangan. Selanjutnya, Santaguna digantikan oleh Ki Mas Kembar atau Mas Tampauna. Mas Tampauna dikenal dengan sebutan Pangeran Kedhawung karena pusat pemerintahan Kerajaan Blambangan di bawah kepemimpinannya berada di daerah Kedhawung. Pada masa pemerintahan Mas Tampauna, kerajaan Blambangan selalu menjadi ajang perebutan pengaruh kekuasaan antara Mataram dan Bali. Perebutan pengaruh kekuasaan diantara kedua kerajaan itu berakhir setelah Sultan Agung (1646M)dan Dewa Agung dari Gelgel (1651M) meninggal. Ki Mas Kembar kemudian digantikan oleh anaknya, Mas Tawang Alun (1655M). Pada masa pemerintahan Tawang Alun, pusat pemerintahan dipindah dari Kedhawung ke Macan Putih sehingga ia dikenal dengan nama Sinuhun Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih. Pada pemerintahan Tawang Alun inilah Blambangan berusaha melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Mataram. Kerajaan Blambangan mencapai puncak kebesarannya ketika dipimpin oleh Raja Tawang Alun sehingga sampai sekarang tetap dikenang oleh Masyarakat Banyuwangi. Pasca meninggalnya Raja Tawang Alun (18 september 1691), keadaan Blambangan menjadi kacau hingga akhirnya berada dibawah pengaruh kerajaan Buleleng, Bali. Setelah Belanda masuk ke Indonesia, wilayah Blambangan pada tahun 1700 dapat ditaklukkan. Meskipun demikian, rakyat Blambangan tidak tinggal diam. Salah seorang tokohnya yang sangat terkenal, yakni Pangeran Agung Wilis (Wong Agung Wilis), berjuang mengangkat senjata untuk menentang kekejaman Penjajah Belanda.
Pada tanggal 25 Maret 1767 ibukota Blambangan berhasil dikuasai Belanda. Dengan dikuasainya Blambangan oleh Belanda, bukan berarti perjuangan untuk melawan penjajah menjadi terhenti. Bahkan, Pangeran Agung Wilis yang pada waktu itu yang diangkat menjadi Pangeran Blambangan terus memimpin perjuangan rakyat Blambangan. Akan tetapi, Pangeran Agung Wilis akhirnya tertangkap pasukan Belanda dan kemudian diasingkan ke Selong dekat Kabupaten Pasuruan. Setelah Pangeran Agung Wilis tertangkap, kepemimpinan perjuangan rakyat Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg yang terkenal dengan sebutan Pangeran Jagapati Adipati Bayu. Mas Rempeg memimpin perjuangan rakyat Blambangan pada tahun 1771-1772 yang kemudian dikenal dengan perang Puputan Bayu (puputan artinya habis, dalam Bahasa Using sehingga Puputan Bayu berarti perang habis-habisan di daerah Bayu) di daerah kecamatan Songgon. Perjuangan yang dipimpin oleh Mas Rempeg itu dapat dikatakan sebagai puncak perlawanan rakyat Blambangan terhadap penjajah Belanda.
Ketika kepemimpinan diemban oleh Mas Rempeg, Sambutan masyarakat Bayu cukup antusias dalam mendukung peperanagan dalam melawan Belanda. Masyarakat Bayu mengangap Mas Rempeg merupakan penjelmaan Pangeran Agung Wilis yang sangat Legendaris. Oleh karena itu, Mas Rempeg mendapat julukan dari belanda dengan sebutan Pseudo Wilis. Dalam perang Puputan Bayu, Mas Rempeg beserta prajurit Blambangan melancarkan serangan umum besar-besaran pada tanggal 18 Desember 1771. Perang Puputan Bayu cukup berhasil karena mampu menghancurkan pertahanan Belanda. Bahkan banyak pemimpin militer Belanda gugur di medan pertempuran.
Mas Rempeg serta pasukannya mampu menghancurkan kekuatan Belanda. Akan tetapi Blambangan sendiri juga porak-poranda. Banyak penduduk mengungsi ke Bali atau lari kepegunungan di sebelah selatan dan barat daya. Setelah perang Puputan Bayu selesai, sebagian penduduk yang masih tinggal di Banyuwangi merupakan penduduk asli yang berasal dari lapisan bawah. Untuk menambah jumlah penduduk, Belanda mendatangkan etnis lain seperti Madura. Bahkan akibat perang Bututan Bayu diperkirakan rakyat Blambangan lenyap. Mereka yang meninggal itu disebabkan gugur dalam pertempuran dan mengungsi ke daerah lain. Pada saat Inggris berkuasa dan Thomas Stamford Raffles menjadi Gubernur Jendral (memerintah sejak tahun 1815), jumlah penduduk pribumi di Banyuwangi sangat kecil yaiut sekitar 8.554 jiwa. Akan tetapi setelah berkuasa lagi, secara terus menerus Belanda mendatangkan orang-orang pribumi dari berbagai etnis ke wilayah Blambangan. Dalam jangka waktu kurang dari 50 tahun, jumlah penduduknya telah meningkat menjadi hampir lima kali lipat, yaitu 39.470 jiwa.
Sementara itu ada sebagian penduduk kkususnya dari lapiasan bawah yang tetap berdiam diri yakni sing (Tidak) ikut mengungsi, yang pada akhirnya dikenal sebagai pewaris budaya dan tradisi Blambangan, yakni kelompok etnik Using. Kelompok Etnik Using adalah kelompok etnik yang pertama kali menghuni wilayah yang terletak di ujung timur Pulau Jawa sehingga sering dikatakan sebagai penduduk asli wilayah yang kini di sebut Banyuwangi jadi terminologi Using berasal dari kata sing sering juga diucapkan using, osing, atau hing yang berarti "tidak", yang kemudian dimaknai sebagai orang-orang yang "tidak" ikut mengungsi ketika terjadi perang Bubutan Bayu sehingga tetap menempati wilayah Blambangan tersebut dengan sebutan wong / lare using = wong Blambangan atau wong Banyuwangen (orang blambangan / orang banyuwangi).
Kini Kabupaten Banyuwangi secara geografis terletak diujung timur pulau jawa pada bagian timur berbatasan dengan selat Bali, bagian selatan berbatasan dengan samudera Indonesia, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso, bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Bondowoso. Kabupaten Banyuwangi yang memiliki luas wilayah sekitar 5.782,50 Km2 tersebut terletak pada posisi koordinat 70 43'-80 46' Lintang Selatan dan 113 53'-114 38' Bujur Timur, Sedangkan secara administratif terbagi terbagi atas 21 kecamatan dengan 151 desa dan 24 kelurahan. Dari seluruh kecamatan itu, enam di antaranya merupakan wilayah pegunungan, sedangkan sisanya merupakan dataran rendah. Masyarakat Banyuwangi bermata pencaharian sebagai petani (terutama orang using).
Rumah asli Banyuwangi (atau rumah adat Orang Using) sampai saat ini masih banyak ditempati di berbagai tempat. Macam-macam bentuk rumah adat using meliputi crocogan, tikel/baresan, tikelbalung (seperti contoh diatas), dan serangan. Bentuk bangunan rumah tersebut dibagi dalam tiga ruang, yakni biale (serambi), jerumah (ruang tengah), dan pawon (dapur). Di halaman atau sekitar rumah sering dipasang kiling (kitiran) sebagai media hiasan atau hiburan.
Kehidupan keagaan kelompok etnik using didominasi oleh agama Islam yang mencapai 95% lebih. Agama lain, Kristen dan Katolik hanya mencapai 2,68%, sedangkan agama Hindu mencapai 1,49%. Simbolisasi kultural masih melekat didalam praktik kehidupan masyarakat Banyuwangi, seperti motif batik gajah uling yang merupakan produk unggulan di Banyuwangi.
Media yang dipergunakan sebagai alat komunikasi lokal yang sekaligus bersifat kultural adalah Bahasa Using (sering disebut sebagai bahasa jawa dialek Banyuwangi). Bahasa yang selama ini kurang mendapat perhatian akhirnya sejak 3 November 1996 melalui persetujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mulai diajarkan disekolah dasar kelas V sampai dengan kelas VI sebagai muatan lokal dengan proyek percontohan di sembilan Sekolah Dasar sebagai Sampel di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Glagah, Kabat dan Rogojampi. Bahasa Using tidak mengenal tingkatan bahasa dan tidak memiliki huruf sebagaimana dalam bahasa jawa.
Di bidang kesenian, Banyuiwangi terhitung banyak memiliki banyak karya seni baik yang sakral maupun profal, yakni seni gandrung, seblang kendang kempul, campur sari, jinggoan, praburoro, barong, angklung caruk, angklung daerah. Tari-tarian itu meliputi antara lain tari Padhang Ulan, Jaran Goyang, Puputan Bayu, Pupus Widuri, Keter Wadon dan Walang Kadung.
Sumber :Heru S.P.Saputra, LKIS
0 komentar:
Posting Komentar