Sketsa sebuah desa dengan beberapa kampong mejhi'
Setiap pemukiman kampong mejhi' terutama adalah solidaritas internal antar masing-masing anggota atau penghuninya menjadi sangat kuat. Apabila terjadi pelecahan harga diri terhadap semua keluarga. Lebih-lebih jika pelecehan tersebut menimpa anggota keluarga perempuan (istri). Jika hal ini terjadi maka semua anggota keluarga dalam Kampong Mejhi' akan bereaksi.
Reaksi yang muncul pada suami yang istrinya di lecehkan (diganggu) selalu dalam bentuk tindakan kekerasan atau carok yang pasti akan didukung oleh semua anggota keluarga lainnya sebagai bentuk reaksi mereka. konsekuensi lain, dalam lingkup hidup yang luas, ikatan solidaritas diantara sesama penduduk desa (sense of community) cenderung rendah. Tegasnya, kohesi sosial diantara penduduk desa menjadi sangat rapuh sehingga semakin memperbesar peluang terjadinya disintegrasi sosial atau konflik. Bila demikian halnya, tidak mustahil carok menjadi sangat potensial.
Ditemukannya banyak pemukiman Kampong mejhi' mengindikasikan bahwa kondisi sosial di pedesaan Madura sejak dahulu tidak memberikan aman bagi penduduknya.Indikasi adanya kondisi sosial tidak aman ini juga terlihat pada semua bentuk arsitektur rumah tradisional yang hanya memiliki satu pintu di bagian depan. Sehingga tidak ada jalan lain bagi setiap orang untuk keluar masuk rumah. Bahkan untuk menuju dapur yang letaknya di depan rumah juga hanya melalui pintu tersebut. Selain itu, karena posisi setiap rumah selalu menghadap selatan maka semua pintu ditempatkan di bagian selatan. Karena posisi tidur orang Madura selalu membujur ke arah utara seperti layaknya orang mati ketika dikuburkan, hal ini berarti dalam keadaan tidur pun orang Madura selalu dapat mengawasi pintu rumah. Dengan kata lain, realitas budaya ini dapat di maknai bahwa setiap saat orang Madura tetap selalu waspada terhadap keamanan lingkungannya
Selain Kampong Mejhi' ada pula pemukiman Taneyan Lanjheng (halaman panjang). Apabila dilihat dari sejarah dan susunan keluarga yang bermukim di dalamnya. Taneyan lanjheng mencerminkan kombinasi antara uksorikal dan matrilokal atau uxori-matrilocal. Artinya, anak perempuan yang telah menikah tetap tinggal di pekarangan orang tuanya, sementara anak laki-laki yang sudah menikah akan pindah kepekarngan istri atau mertuanya. Selain itu, membangun pola pemukiman taneyan lanjheng hanya dapat dilakukan oleh keluarga yang mampu secara ekonomi. Oleh karena itu, beda dengan kampong mejhi', jumlah taneyan lanjheng dalam satu desa biasanya tidak lebih dari tiga, atau bahkan bisa jadi tidak terdapat satu pun juga.
Rumah-rumah yang terdapat dalam pemukiman taneyan lanjheng selalu dibangun berderet dari barat ke timur dan selalu menghadap selatan sebagaimana posisi semua rumah tradisional yang lain, menurut urutan kelahiran anak perempuan dari keluarga yang bersangkutan. Anak perempuan pertama menempati urutan pertama, demikian seterusnya, demikian seterusnya dengan anak-anak perempuan yang lahir kemudian. Dengan demikian, jumlah rumah yang dibangun mencerminkan atau sesuai dengan jumlah anak perempuan yang dilahirkan, tidak termasuk rumah induk yang di huni orang tuanya. Misalnya, jika dalam suatu taneyan lanjheng terdapat sembilan rumah, berarti terdapat delapan anak perempuan yang dilahirkan
Sketsa Taniyan Lanjheng
R1, R2,dst = Rumah-rumah yang dihuni oleh masing-masing keluarga.
S = Sumur keluarga.
M = Musolla atau surau.
D1, D2, dst = Dapur untuk masing-masing keluarga. Selain berfungsi sebagai tempat memasak, juga sebagai tempat menyimpan bahan pangan (lumbung)
K1, K2, dst = Kandang-kandang sapi milik masing-masing keluarga.
Meski pun pada umumnya formasi taneyan lanjheng hanya terdiri dari 4 sampai 8 rumah, tapi pernah ditemukan sebuah kelompok pemukiman taneyan lanjheng di wilayah Kabupaten Sumenep yang formasi nya terdiri dari 12 buah rumah yang dihuni oleh 11 keluarga. Setiap keluarga terdiri dua sampai empat orang sehingga jumlah anggota keluarga seluruhnya adalah 41 orang, terdiri dari 14 laki-laki dan 23 perempuan.
Memperhatikan struktur formasi dan dasar pembentukan pemukiman taniyan lanjheng, tampak jelas bahwa dalam ideologi keluarga Madura anak perempuan memperoleh perhatian dan proteksi secara khusus dibandingkan dengan anak laki-laki. Setiap orang tua Madura selalu menghendaki anak perempuannya tetap tinggal bersama di lingkungan mereka, meskipun anak tersebut telah bersuami. Secara kultural dengan adanya sistem perkawinan kombinasi antara uksorikal dan matrilokal ini, setiap orang tua mempunyai kewajiban membuatkan sebuah rumah bagi setiap anak perempuan yang dilahirkan. Kualitas rumah tergantung dari kemampuan ekonomi masing-masing. Bagi orang tua yang kebetulan secara ekonomi tidak memungkinkan untuk membangun rumah tinggal baru ketika anak perempuannya menikah, biasanya kamar induk yang biasanya mereka tempati direlakan untuk ditempati oleh anak perempuannya tersebut bersama suaminya. Mereka cukup menempati kamar di bagian belakang dekat dapur atau bahkan sebagian dari ruangan dapur itu sendiri.
Perhatian dan proteksi orang Madura pada kaum perempuan tidak hanya terlihat pada struktur formasi dan dasar pembentukan pola pemukiman taaniyan lanjheng, tetapi dapat di lihat pula pada struktur formasi seluruh rumah tradisional keluarga orang Madura. Setiap rumah di sini pasti memiliki sebuah bangunan langgar atau surau atau musholla (masjid kecil). Lokasinya selalu berada pada ujung halaman bagian barat, sebagai simbolisasi lokasi Ka'bah yang merupakan kiblat orang Islam ketika melaksanakan ibadah shalat. Bangunan langgar atau surau atau musholla (masjid kecil) ini tidak saja mempunyai fungsi yang bermakna religius, tetapi secara kultural memiliki fungsi khusus sebagai tempat menerima semua tamu laki-laki. Tujuan utama menempatkan semua tamu laki-laki di bangunan ini adalah mencegah kemungkinan terjadinya perilaku-perilaku negatif berbau seksualitas, akibat pertemuan tamu antara laki-laki tersebut dan anggota keluarga perempuan (terutama istri) dari pihak tuan rumah.
Bagi orang Madura, parseko (sangat riskan secara etika) apabila menerima tamu laki-laki di ruang tamu kecuali orang-orang yang masih mempunyai ikatan kekerabatan. Oleh karena itu tamu laki-laki harus menuju bangunan tersebut, bukan ruang tamu. Di tempat inilah dia akan ditemui oleh tuan rumah (laki-laki). Jika tamu datang bersama istrinya maka hanya istrinya yang boleh masuk ke ruang tamu. Ditempat ini dia akan di temui oleh istri atau kerabat perempuan tuan rumah. Apabila kebetulan tuan rumah (laki-laki) sedang tidak di rumah dan kebetulan pula hanya istri atau anggota keluarga perempuan yang ada, maka setiap tamu (laki-laki) yang datang hanya boleh di sambut dari balik ruangan tanpa menampakkan diri dengan menanyakan keperluannya. Setelah itu, si tamu harus segera pulang dan tidak memaksakan diri menunggu kedatangan tuan rumah. Dengan demikian, kaum perempuan sudah di antisipasi ter lindungi dari segala bentuk perbuatan pelecehan seksual.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dengan adanya pola pemukiman taniyan lanjheng dan formasi struktur bangunan rumah tradisional pada umumnya, secara kultural memberikan perhatian serta proteksi secara khusus terhadap kaum perempuan, maka kaum perempuan akan merasa aman dalam lingkungan sosial budaya Madura. Setiap anggota keluarga laki-laki khususnya suami berkewajiban untuk senantiasa menjaga kehormatan mereka. Segala bentuk gangguan terhadap kehormatan kaum perempuan (terutama istri) akan selalu di artikan sebagai pelecehan pelecehan terhada kaum laki-laki dan berakhir dengan Carok.
Sumber : Dr. A. Latief Wiyata. LKIS, 2002
0 komentar:
Posting Komentar