1. Oreng towa (orang tua : ayah/ibu atau parent : F dan M )
2. Kae/nyae (kakek/nenek atau GF/GM)
3. Juju' (orang tua dari kakek/nenek atau GGF/GGM)
4. Gharubhung (orang tua dari juju' atau GGGF/GGGM)
5. Ana' (anak kandung atau Son/S dan Daugther/D)
6. Kompoy (cucu atau GS)
7. Peyo' (cicit atau GGS)
8. Kareppek (anak dari cicit atau GGGS)
9. Taretan (saudara kandung atau Brother/B dan sister/Z)
10. Taretan sapopo (saudara sepupuan atau first cousins)
11. Taretan dupopo (saudara dua pupuan atau second cousins)
12. Taretan tellopopo (saudara tiga pupuan atau third cousins)
13. Majhadi' (saudara dari ayah/ ibu atau FB atau FZ dan MB atau MZ)
14. Ponakan (ponakan atau FBS atau FZS dan MBS atau MZS)
Berdasarkan kategori-kategori gambar tersebut, masyarakat Madura selalu membangun aktivitas-aktivitas afiliasi dan tingkah laku (Affiliations and conducts Activities) dengan Tretan dalem (Saudara dalam) yang mencakup keturunan mereka secara langsung (Lineage), seperti orang tua (ayah-ibu), kakek-nenek, anak-cucu, Majhadi' (sepupu), keponakan, Sapopo (saudara sepupu), dan Dupopo (saudara sepupu generasi kedua). Selain itu, afiliasi-afiliasi juga dibangun dalam lingkungan Tretan semma' (saudara dekat) yang mencakup anggota seketurunan dari kakek nenek (juju'/enju'), Tellopopo (saudara sepupu generasi ketiga), dan orang-orang yang seketurunan dari anak-cucu. Pa'popo (Saudara sepupu generasi keempat) dimasukkan dalam kategori Tretan jhau (saudara jauh). Masing-masing kategori mempunyai tingkatan atau keakraban yang berbeda yang berbeda.
Untuk menjaga keakraban antar sesama kerabat agar tetap kuat, biasanya dilakukan aktivitas-aktivitas sosial seperti saling mengunjungi, baik dalam suasana suka (perhelatan, pertunangan, pernikahan) maupun duka (kerabat sakit, kematian, terkena musibah). Bahkan untuk menjaga keutuhan dan menjalin menjalin kembali ikatan kekerabatan yang dianggap telah mulai longgar atau hampir putus karena proses perjalanan waktu, orang Madura mempunyai kebiasaan melakukan pernikahan antar anggota keluarga (kin group endogamy). Kebiasaan yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan tampaknya telah berlangsung sejak jaman kerajaan, yaitu sejak abad ke-13.¹ Meskipun demikian dalam kebudayaan Madura, ada juga pernikahan antar anggota keluarga yang harus dihindari, yaitu antara anak dari saudara laki-laki sekandung (sepupu) atau antara anak dari dua perempuan sekandung (sepupu) menurut kepercayaan orang Madura jika pernikahan itu dilangsungkanmaka akan terjadi malapetaka bagi yang bersangkutan.
Pernikahan antar keluarga sendiri diyakini tidak membawa malapetaka justru dapat tetap memelihara, mempertahankan, dan melestarikan hubungan-hubungan kekerabatan oleh orang Madura disebut Mapolong tolang (Mengumpulkan tulang yang bercerai-berai). Bagi keluarga-keluarga kaya, pernikahan ini biasanya terselip maksud yang bersifat ekonomi. Artinya, pernikahan antar anggota keluarga dimaksudkan untuk menjaga agar harta kekayaan yang dimiliki tidak jatuh kepada Oreng loar (orang lain).
Dalam realitas kultural yang sangat ekstrim, biasanya masyarakat desa justru menjodohkan anaknya yang masih berumur dibawah lima tahun (balita) denbgan anak dari anggota keluarga yang lain pada usia yang sama. Bahkan ada pula sebagian dari mereka yang menjodohkan anak-anaknya ketika anak-anak itu masih berada dalam kandungan ibunya atau pada saat baru dilahirkan. Tujuan menjodohkan anak pada usia sangat muda, selain telah disebutkan diatas, adalah untuk menjaga kehormatan keluarga dari perasaan aib dan malu jika pada waktunya nanti anak perempuan mereka belum menemukan jodoh. Menurut pandangan orang Madura, seorang perempuan seharusnya sudah menikah tidak lama setelah mengalami haid yang pertama atau pada umur 12 sampai 15 tahun. Apabila telah melebihi umur tersebut dan masih juga belum menikah, semua orang akan mencemooh nya sebagai Ta' paju lakeh (perempuan tidak laku). Pada saat itulah kedua orang tuanya serta anak perempuan yang bersangkutan merasakan aib dan malu pada semua orang dilingkungan sosialnya. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi seperti itu, mudah dimengerti apabila inisiatif menjodohkan anak dibawah umur hampir selalu datang dari pihak orang tua anak perempuan. Inisiatif yang datang dari pihak orang tua anak laki-laki pun punya maksud yang sama. sebab, sebagai satu keluarga besar, mereka pun akan merasakan hal yang sama (aib dan malu) jika ada diantara anggota kerabatnya di cemooh sebagai ta' paju lakeh (perempuan tidak laku).
Dalam konteks budaya Madura, kebiasaan menjodohkan anak antar keluarga yang masih dibawah umur dan bahkan ketika anak masih dalam kandungan ibunya mempunyai makna atau dapat ditafsirkan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menghendaki seorang perempuan hidup sendiri tanpa pendamping seorang laki-laki sebagai suami, yang antara lain akan melindungi kehormatannya. Akan tetapi, karena sistem kekerabatan dalam masyarakat Madura bersifat patriarkal, yang dalam kehidupan keluarga dicerminkan oleh posisi superordinasi suami terhadap istri, salah satu implikasinya adalah suami selalu mapas kepada isterinya. Sebaliknya, istri senantiasa abhasa kepada suami sebagai ungkapan penghormatan. Kalaupun ada sementara suami yang tidak menggunakan bahasa mapas, biasanya hanya cukup menggunakan bahasa pada tingkatan menengah². lebih dari itu, posisi superordinasi ini terimplementasikan pula dalam peran suami yang sangat dominan hampir di segala segi kehidupan sehingga perlindungan istri cenderung sangat berlebihan.
Peran tersebut secara kultural tercermin pada pakaian adat madura pesa' (baju) dan gombor (celana) pakaian tradisional ini model atau rancangannya sangat longgar, sehingga pemakainya bebas bergerak dan dengan mudah dapat memamerkan tubuhnya yang tegap. Sebaliknya, para istri orang Madura di pedesaan harus menggunakan beggel (gelang kaki) terbuat dari bahan alpaka, yaitu campuran perak dan tembaga yang beratnya berkisar antara 3 sampai 5 Kilogram. Beggel ini dipakai di kedua kaki ketika mereka keluar rumah atau bepergian. Ketika berjalan para istri tampak terseok-seok, yang menandakan tidak adanya kebebasan bergerak sebagaimana para suami yang selalu berjalan mengiringi di belakang sambil nyekep (menyelipkan Celurit kedalam baju). Dengan demikian istri selalu berada dalam pengawasan sangat ketat, yang mengindikasikan mereka sangat berarti dalam kehidupan suami. Setiap bentuk gangguan terhadap kehormatan istri akan dimaknai sebagai pelecehan terhadap harga diri suami dan berakhir dengan Carok.
1. Diceritakan dalam babad sumenep. Pangeran Saccadiningrat sebagai Raja di Sumenep menikah dengan saudara sepupu ibunya bernama Dewi Sarini. Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang amat cantik dengan julukan Raden Ayu Potre Koneng.
2. Pada dasarnya penggunaan bahasa Madura hanya dibedakan menjadi dua, yaitu Abhasa (penggunaan bahasa tinggi dan halus), dan Mapas (penggunaan bahasa kasar). Penggunaan kedua jenis bahasa ini sebagai alat berkomunikasi antar anggota keluarga ataun kerabat sangat tergantung pada posisi yang bersangkutan dalam struktur kekerabatan. Misalnya, seorang anak harus abhasa kepada orang tuanya.
Sumber : Dr. A. Latief Wiyata, Lkis Yogyakarta
Sumber : Dr. A. Latief Wiyata, Lkis Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar