Pemerintahan Desa di Sampang

Dalam periode kerajaan ini di Sampang terdapat macam pemerintahan desa yaitu Pemerintahan Desa Sima

Pemerintahan Desa Sima
Pada Artikel sebelumnya dikatakan bahwa di Desa Kemuning serta di Somordhaksan terdapat gua pertapaan, berdasarkan hal itu selanjutnya dapat diinterpresentasikan bahwa kedua tempat tersebut mempunyai status Sima.
Sima adalah tanah atau desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar cukai hak raja, tetapi harus melaksanakan tugas-tugas tertentu, misalnya memelihara bangunan-bangunan keagamaan, makam seorang pemimpin dan sebagainya.

Jadi dasar pemberian status sima terhadap desa atau sebagian tanah di Kemoning dan Somordhaksan itu ialah adanya bangunan-bangunan suci keagamaan (candi, pertapaan) pada kasus tempat itu.

Desa atau sebagian tanah di Kemoning dan Somordhaksan yang mempunyai status sima itu tidak boleh (terlarang) dimasuki pegawai-pegawai kerajaan seperti pangkur, tawan dan tirip maupun golongan Mangilala Drahya Haji yaitu orang-orang yang hidupnya dari penarikan cukai hak raja.Berhubung cukai hak raja itu dibayar berupa barang atau in natura, maka golongan Mangilala Drahya Haji banyak jumlahnya disesuaikan dengan jenis-jenis barang yang dikenakan cukai *1

Pembebasan cukai hak raja atau pajak tersebut dimaksudkan untuk biaya pemeliharaan tempat maupun bangunan-bangunan suci di kedua tempat itu. Selain dari pembebasan cukai hak raja biaya pemeliharaan itu juga diperoleh dari denda terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Misalnya, menyindir, menghina orang lain dan pelakunya-pelakunya diputuskan bersalah serta denda. Denda-denda ini dipakai untuk tambahan biaya pemeliharaan tempat maupun bangunan suci keagamaan tersebut.

Kesimpulan Penulis : Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang sangat minim dan tidak langsung berkaitan dengan bidang politik atau pemerintahn seperti telah diuraikan di muk, maka hanya dapat ditafsirkan bahwa : Sejaman dengan msa pemerintahn Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, di Desa Kemoning dan Somordhaksan - Kota Sampang (Waktunya belum jelas) terdapat pengorganisasian pemerintahan desa berstatus sima yang pelaksanaannya dilakukan oleh tetua keagamaan

*1 H. Muhammad Yamin dalam Tatanegara Madjapahit, Parwa IV hal 174-175 mengemukakan terdapat 24 golongan Mangilala Drahya Haji, yaitu : kring, padam, pamanikan, maniga, lwa, malanjang, manghuri, makalangkang, tapa haji, air haji, tuha gocali, tuha dagang, tuha nambi, tuha hunjaman, undahagi, manimpiki, pandai wsi, walyan, paranakan, widu mangidung, tuha wadani, warahan, sambal sambul watak i dalam, singgah pamrsi hulun haji.


http://bagianjawatimur.blogspot.com
»»  read more

Putri Nandi Desa Kemoning Sampang Madura

Desa kemoning ini terletak kurang lebih 5 km di utara Kota Sampang dan telah ditemukan adalah :

1. Sebuah lingga.
Sekarang lingga ini tidak diketahui lagi dimana tersimpan. didalam lingga itu memuat tujuh baris tulisan. Sayangnya hanya dua baris saja yang dapat dibaca secara pasti, yaitu : Baris pertama i caka 1301 dan baris terakhir nagara gata bhuwanagong.
Baris pertama i caka 1301 menunjukkan tahun 1301 C = 1379 AD, karena tahun 1 Caka baru dimulai setelah tahun Masehi berlangsung 78 tahun. Maka untuk menyamakan tahun Caka dengan tahun Masehi perlu ditambah 78 tahun. Dengan disebutnya i caka 1301 ini, dapat diketahui bahwa lingga itu dibuat bersamaan dengan tahun ke 29 pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350-1389)dari Kerajaan Majapahit.
Baris ketujuh nagara gata bhuwanagong dapat diuraikan menjadi nagara-gata-bhuwana-agong yang diduga merupakan suatu Candrasangkala. Nilai kata-kata itu ialah nagara = 1 gata (wadah,tempat)= 5 bhuwana = 1 agong = 1. Jadi diketemukan angka 1511 dan jika dibaca dari belakang ketemu 1151 C = 1229 AD. Tahun 1151 C = 1229 AD ini bersamaan dengan tahun ke 7 pemerintahan Ken Arok (1222-1247 AD) dari Kerajaan Singhasari.
Persoalan yang tetap belum dapat dipecahkan adalah hubungan tahun 1301 C dengan tahun 1151 C yang sama-sama tercantum pada lingga itu, karena lima baris kalimat lainnya tidak terbaca. Selain itu jika tahun 1301 C = 1379 AD dikaitkan dengan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan tahun 1151 C = 1229 AD dihubungkan dengan masa pemerintahan Raja Ken Arok, kedua tahun tersebut juga tidak memberi petunjuk adanya kejadian-kejadian penting yang menyangkut tindakan kedua Raja itu terhadap Sampang maupun Madura.

2. Pondasi bekas bangunan kuno
Di Desa Kemoning selain ditemukan sebuah lingga, terdapat pondasi bekas dari bangunan kuno dan menurut cerita penduduk setempat dikatakan adanya kerajaan kecil (rijkje) disebut Nandi.
Berdasarkan pondasi bekas bangunan kuno itu dapat diketahui bahwa bangunan tersebut merupakan suatu Candi bukan suatu Kerajaan atau Keraton. Hal itu dapat dikembalikan kepada sifat homo religius manusia pada zaman kuno, maka bangunan-bangunan bersifat keagamaan akan digunakan bahan-bahan yang lebih baik agar lebih tahan lama daripada bangunan-bangungan profan termasuk pula istana. Sehingga sisa-sisa pondasi yang masih ada sekarang ini adalah bekas pondasi suatu candi.
Sedangkan nama Nandi menunjukkan candi itu bersifat Ciwa. karena nandi (sapi) menurut mitologi Hindhu menjadi wahana (kendaraan) Dewa Ciwa. Hal ini dapat diperkuat dengan diketemukannya lingga diatas, karena lingga merupakan lambang Dewa Ciwa dan menjadi bagian dari candi yang biasanya diletakkan di atas Yoni dalam suatu candi.

3. Cerita Putri Nandi
Sampai sekarang dikalangan penduduk setempat masih hidup cerita mengenai Putri Nandi. Berdasarkan nama Putri Nandi ini dapat ditafsirkan bahwa Putri yang dimaksud ialah Durga Mahesasuramardhini
yaitu salah satu cakti atau perwujudan Dewa Cita sebagai wanita (dewi) yang membunuh raksasa dengan berkendaraan Nandi. Patung semacam itu masih terdapat pada candi Ciwa atau candi induk Prambanan di bilik utara dan penduduk menyebutnya Rara Jongrang yang berarti gadis bertubuh tinggi ramping.
Mengenai waktu pembuatan candi Ciwaistis di Desa Kemoning itu adalah tahun 1301 C = 1379 AD seperti tahun yang tertera dalam lingga, jadi semasa dengan Kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dihubungkan dengan sisa bahan bangunan masa Kerajaan Majapahit yang banyak terdapat di Trowulan-Mojokerto.

Sumber : Sejarah Kabupaten Sampang Drs. Goenadi Brahmantyo
Http://bagianjawatimur.blogspot.com
»»  read more

Kronogram Somordhaksan (Sumur Dhaksan) Sampang Madura



Bukti dari sumber sejarah lain ditemukan pada bagian timur Kota Sampang berupa gua tempat tinggal kuno yang telah runtuh dan kronogram pada dinding bagian dalam sumur yang oleh penduduk setempat dinamakan Somordhaksan.
Berdasarkan peninggalan berupa gua tempat tinggal kuno itu dapat ditafsirkan bahwa gua tersebut merupakan sebuah pertapaan (#1) karena orang biasanya berdiam di tempat semacam itu ialah pertapa (resi). Hal ini dapat dikaitkan dengan nama Somordhaksan, karena kata Dhaksan diduga berasal dari kata Dyaksa (kepala/ketua), misalnya Dharmadyaksa (kepala agama), Decadyaksan (tetua desa). Jadi Somordhaksan berarti sumurnya dyaksa dalam hal ini kepala agama yaitu petapa (resi).



Mengenai waktu pembuatan gua pertapaan Somordhaksan itu dapat dihubungkan dengan kronogram pada dinding bagian dalam Sumur yang berupa gambar Kuda - Raksasa (butho) - Kuda. Terdapat beberapa penafsiran mengenai penentuan tahun dari kronogram itu, diantarangya :

1. Oudheidkundig Verslag, 1929 (buku)menjelaskan bahwa perkiraan candrasangkala dari Somordhaksan itu bertahun 1327 atau 1027. Bagaimana keterangan penentuan tahun 1327 atau 1027 tersebut tidak diketahui, sebab nilai gambar-gambar itu ialah Kuda = 1, Raksasa (butho) = 5, Kuda = 1. Jadi bertahun 151 atau lengkapnya tahun 1151, Karena bilangan-bilangan dalam kesatuan candrasangkala tidak pernah ditinggalkan, maka bilangan ribuannya pasti angka 1.
Berdasarkan keterangan tersebut diketahui ada tiga penafsiran untuk menetapkan tahun candrasangkala di Somordhaksan yaitu tahun-tahun 1327, 1027 dan 1151.
Mengenai penetapan tahun 1327 ialah tahun 1327 C = 1405 AD, maka dapat dihubungkan dengan keadaan di Kerajaan Majapahit yang sedang dilanda perang Paregreg (1401-1406 AD). Kemungkinan ada salah seorang keluarga raja yang mengungsi ke Somordhaksan dan menjadi seorang dhaksa di situ.
Penetapan tahun 1027 C = 1105 AD adalah sejajar dengan masa awal Kerajaan Kadiri, tetapi tidak diketahui sesuatu peristiwa yang dapat dihubungkan antara Kadiri dengan Sampang maupun Madura.
Sedangkan tahun 1151 atau tahun 1151 C = 1229 AD sebagai penentuan kronogram dari Somordhaksan juga kurang tepat, karena nilai-nilai gambar tersebut ialah kuda = 7, butho = 5, kuda = 7. Jadi didapatkan tahun 757 C (835 AD) bukan 1151.
Tahun 757 C (835 AD) dari dinasti Cailendra di Jawa Tengah. Kelaemahannya tidak ada sumber sejarah untuk dipakai menjelaskan hubungan dinasti Cailendra di jawa Tengah dengan Sampang, tambahan lagi sumber sejarah berupa tulisan yang paling awal menyangkut Madura ialah prasasti Mula Malurung tahun 1255 AD yang dikeluarkan Raja Seminingrat (Wishnuwardhana) dari Kerajaan Singhasari.
Jadi tahun 1151 yang dinyatakan dalam OV 1929 tersebut bahkan lebih tepat dihubungkan dengan candrasangkala negara gata bhuwanagong pada lingga dari desa Kemoning bukan dikaitkan dengan Kronogram dari Somordhaksan.

2. Penafsiran lain dari kronogram itu ialah dibaca kudo tarung butho ing tengah, maka didapatkan angka-angka kudo (kuda) = 7, tarung (berkelahi) = 2, butho (raksasa) = 5, tengah (pusat) = 1. Jadi diketemukan angka 7251 atau tahun 1527 AD memang tidak berselisih banyak dengan tahun keruntuhan Majapahit pada tahun 1525 AD dan ada salah seorang keluarga Raja Majapahit yang mengungsi ke Somordhaksan.
Kelemahan penentuan kronogram itu sebagai tahun 1527 AD terletak pada masa kerajaan Majapahit lazim memakai Cakawarsha bukan tahun Masehi.
Dengan demikian memang agak sulit untuk menentukan tahun dari kronogrom dari Somordhaksan tersebut sebagai waktu dibangunnya gua pertapaan itu.



#1. Peninggalan kuno semacam itu ialah gua Selomangleng, dekat candi Bhayalangu makam Gayatri yaitu nenek Hayam Wuruk di daerah Tulung Agung, berfungsi sebagai tempat pertapaan juga.


Sumber :Drs Goenadi Brahmantyo
Http://bagianjawatimur.blogspot.com

»»  read more

Gua Selomangleng Kediri Jawa Timur


Lokasi : Pojok - Mojoroto Kediri
Kordinat GPS : S7.807230 - E111.972810
Ketinggian : 123 m

Gua Selomangleg merupakan objek wisata populer Kediri. Dinamakan Selomangleng dikarenakan lokasinya yang berada di lereng bukit (Jawa=>Selo=Batu, Mangleng=Miring), kira-kira 40 meter dari tanah terendah di kawasan. Gua ini terbentuk dari batu andesit hitam yang berukuran cukup besar, sehingga nampak cukup menyolok dari kejauhan.



Sepintas tidak ada yang istimewa di gua batu ini, keunikan baru terlihat begitu mendekati pintu gua. Beberapa meter dibawah mulut gua terdapat beberapa bongkahan batu yang berserakan. Sebagian diantaranya terdapat pahatan, menandakan bahwa tempat ini sudah pernah disentuh manusia. Berbagai corak relief menghiasai dinding luar gua, diantaranya ada yang berbentuk manusia.

Melongok kedalam gua, suasana gelap gulita dan aroma dupa yang cukup menyengat datang menyambut pengunjung. Tidak heran bila ada beberapa pengunjung yang takut atau berfikir panjang sebelum memutuskan untuk memasukinya. Kesan mistis terasa kental sekali saaat berada didalamnya. Beberapa pengunjung nampak buru-buru keluar setelah tidak lama memasuki ruang karena, dikarenakan tidak kuat dengan aroma dupa yang menyengat.

Gua yang terbuat dari batuan andesit ini menjadikannya kedap air. Tidak ada stalagtit maupun stalagmit yang umum dijumpai pada gua-gua alam. Terdapat tiga ruangan dalam gua, dari pintu masuk kita akan tiba di ruanagan utama yang tidak begitu lebar dengan sebuah pintu kecil disisi kiri dan kanan untuk menuju ruangan lain dari dalam gua.


Didalam gua ini banyak sekali dijumpai relief yang menghiasi dinding gua. Diperlukan penerangan tambahan untuk bisa melihatnya dengan jelas. Saya sendiri menggunakan sinar lampu dari telepon genggam yang kebetulan bisa difungsikan sebagai lampu penerangan (senter). Pada dasar lantai banyak sekali ditemukan bunga-bunga sesajen berwarna merah dan kuning yang masih segar. Suatu pertanda bahwa tempat ini cukup sering digunakan untuk mengasingkan diri, bertapa atau tirakat bagi kalangan masyarakat tertentu.


Memasuki ruangan sebelah kiri dari pintu masuk gua, pengunjung mesti sedikit merangkak dikarenakan ukuran pintunya yang cukup kecil. Ketika mencoba memasuki ruangan tersebut, praktis cahaya yang ada semakin minim dikarenakan tidak adanya penerangan pada ruang tersebut. Ditambah ruangannya yang kecil dengan atap yang rendah sehingga kesan sempit dan sumpek mendominasi suasana dalam ruangan tersebut. Sulit kali untuk melihat apa saja yang ada di dalam ruangan tersebut. Ketika mencoba menelusuri dinding gua dengan penerangan dari telpon genggam, barulah terlihat bahwa bagian dalam gua tersebut juga memiliki relief-relief yang senada dengan bagian luar gua.



Berbeda dengan ruang sebelah kiri gua, pada sisi kanan gua, terdapat relief pada bagain atas dari pintu masuk. Mirip dengan relief yang sering menghiasi bagian atas dari pintu masuk candi. Ruangan ini sedikit lebih lebar dari sisi kiri. Pada dinding gua, terdapat bagian yang menonjol dengan cerukan kecil dibagian bawahnya, membentuk tungku. Sebatang dupa yang masih menyala nampak berada didalam tungku tersebut, menebarkan aroma menyengat yang memenuhi seluruh ruangan. Relief-rleief yang ada masih bisa terlihat cukup jelas untuk dinikmati.

Dari cerita yang beredar, Gua Selomangleng dulu pernah digunakan oleh Dewi Kilisuci sebagai tempat pertapaan. Dewi Kilisuci adalah putri mahkota Raja Erlangga yang menolak menerima tahata kerajaan yang diwariskan kepadanya, dan lebih memilih menjauhkan diri dari kehidupan dunia dengan cara melakukan tapabrata di Gua Selomangleng.

Terlepas dari gelap dan pengapnya suasana dalam gua, objek wisata Gua Selomangleng patut dikunjungi saat anda berada di Kediri. Tak jauh dari lokasi gua ini juga terdapat museum purbakala yang bisa dikunjungi dan banyak sekali menyimpan benda-benda arkeologi berupa patung/arca.


Sumber : http://navigasi.net/goart.php?a=buslmang
»»  read more