Hinduisasi vs Islamisasi Di Tengger




Upacara Karo yang telah mendarah daging dalam tradisi orang Tengger, rupanya mendapatkan pemaknaan yang berbeda dari kekuatan di luar Tengger. Dalam bukunya yang berjudul Hindu Javaneese: Tengger Tradition and Islam, Robert Hefner (1985) mengaitkan Upacara Karo dengan legenda Ajisaka. Dalam legenda tersebut diceritakan bahwa Ajisaka adalah orang Tengger yang telah menganut agama Islam. Ia mendapat ajaran Islam langsung dari Nabi Muhammad di tanah Arab. Ajisaka digambarkan sebagai sosok yang cerdas, bahkan melebihi kecerdasarn Ali bin Abi Thalib. Setelah sekian lama mendapat gemblengan ajaran Islam,  sampailah waktunya Ajisaka untuk berpamitan dengan Nabi Muhammad untuk pulang ke kampung halamannya di Tengger. Nabi Muhammad mengizinkan, bahkan memberikan sebuah hadiah kepada Ajisaka berupa lontaran yang berisi ajaran-ajaran Nabi Muhammad.
Dengan iringan restu Nabi Muhammad pulanglah Ajisaka ke Tengger. Setelah sampai di Tengger, Ajisaka baru tersadar bahwa hadiah lontara yang diberikan Nabi Muhammad kepada dirinya tertinggal di tanah Arab. Akhirnya Ajisaka mengirim utusan yang bernama Hana untuk pergi ke Mekkah dan mengambil lontara pemberian Sang Nabi. Ajisaka berpesan kepada Hana agar jangan kembali ke Tengger sebelum mendapatkan hadiah tersebut.
Sementara pada saat yang bersamaan, Nabi Muhammad juga baru mengetahui bahwa lontara yang diberikannya kepada Ajisaka telah tertinggal. Beliau pun segera menyuruh utusannya yang bernama Alif untuk pergi ke Tengger dan membawa lontara itu kepada Ajisaka. Nabi juga berpesan agar Alif berhati-hati, jangan sampai lontara itu jatuh ke tangan siapa pun kecuali kepada Ajisaka sendiri. Maka segeralah Alif berangkat ke Tengger menjalankan tugas dari Nabi Muhammad.
Di tengah perjalanan, kedua utusan tadi (Hana-Alif) bertemu. Setelah berbincang-bincang, tahulah Hana bahwa Alif sedang memegang lontara yang hendak ia ambil itu. Maka Hana pun meminta kepada Alif agar lontara itu diberikan kepada dirinya untuk kemudian ia serahkan kepada Ajisaka. Namun Alif berpegang pada pesan Nabi Muhammad agar tidak memberikan lontara itu kepada siapapun juga selain kepada Ajisaka sendiri. Karena tidak menemukan kompromi, akhirnya keduanya bertarung. Dalam pertarungan itu, kedua utusan itu tewas. Tubuh Hana membujur ke selatan (geblak ngidul) dan tubuh Alif membujur ke utara (geblak ngalor).
Dalam Kisah, Hefner, cerita ini menjadi pedoman bagi warga Tengger dalam pemakaman orang yang meninggal dunia. Jika orang Tengger meninggal, maka dia akan dimakamkan dengan posisi kepala di sisi selatan. Sementara jika ada orang Tengger beragama Islam meninggal, maka ia dimakamkan dengan kepala di sisi utara. Tewasnya kedua utusan ini melahirkan sajak yang dikarang Ajisaka yang kemudian menjadi abjad Jawa hana caraka data sawala pada jayanya maga bathanga. Sajak ini kemudian menjadi dasar penggunaan abjad Jawa yang mendasari lahirnya upacara Karo.
Banyak yang menyangsikan kebenaran cerita tentang (ke-Islam-an) Ajisaka ini. Bahkan Hefner sendiri dalam tulisannya yang mengutip Meinsma menyatakan bahwa Legenda Ajisaka yang berhubungan dengan Nabi Muhammad bukanlah kisah dan produk ortogenik dari masyarakat Tengger. Orang-orang Tengger sendiri menyatakan tak pernah mendengar cerita Ajisaka dan kaitannya dengan Ritus Karo. Bagi mereka adalah jelas, bahwa Karo murni ritus keagamaan warga Tengger.
Di luar cerita tentang Ajisaka (yang bermuatan pesan ‘Islamisasi’ Tengger),  berkembang pula pemaknaan yang berbau Hinduisasi terhadap Upacara Karo. Diantaranya adalah apa yang dikemukakan Sarmidi, guru Agama Hindu di SDN Wonokerto I dan Bambang Suprapto, sarjana dari Institute Hindu Darma Bali. Sarmidi mengatakan bahwa Upacara Karo yang dilakukan warga Tengger merupakan ajaran Hindu yang telah mentradisi dalam adat Tengger. Pria asli Blitar yang masuk ke Tengger pada tahun 1979 ini menyatakan bahwa Upacara Karo sesuai dengan konsep Pancayatnya dalam Agama Hindu, yang memberi ajaran tentang memberikan korban suci kepada leluhur. “Jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan legenda Ajisaka, melainkan murni konsep-konsep Hindu yang diwariskan oleh nenek moyang orang Tengger,” katanya.
Hal senada juga dikatakan Bambang Suprapto. Laki-laki kelahiran Ngadisari (Tengger) namun telah mendapat gemblengan Agama Hindu di Bali ini menyatakan bahwa masyarakat Tengger sejak awal telah beragama Hindu, dan seluruh prosesi upacara keagamaan yang dilaksanakan di Tengger adalah ajaran-ajaran Hindu. “Kita tak usah meragukan lagi, seluruh ritual di Tengger ini adalah ritual-ritual Hindu. Bahkan Gunung Bromo yang menjadi tempat suci orang-orang Tengger sejatinya berasal dari kata Brahma yang artinya Dewa Brahma, yakni salah satu Dewa yang ada dalam agama Hindu,” tegas Bambang.
Barangkali, atas dasar pertimbangan yang mirip dengan yang dikemukakan Bambang itulah pada tahun 1973 wilayah Tengger secara keseluruhan ditetapkan sebagai penganut Agama Hindu oleh pemerintah Orde Baru. Berbarengan dengan itu Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Jawa Timur membuat SK No. 00/SK/PHDI-Jatim/1973 mengenai pembentukan kepengurusan PHDI Cabang Kabupaten Probolinggo yang diketuahi oleh Soeja’i (alm), yang tak lain adalah Koordinator Dukun Tengger. Sejak itu dilakukanlah sejumlah kebijakan untuk meng-Hindu-kan Tengger, antara lain dengan mendatangkan sejumlah guru agama Hindu ke Tengger, memberikan beasiswa kepada beberapa pemuda Tengger untuk belajar di Institute Hindu Darma (IHD) di Bali, dan juga pembangunan beberapa Pura. Pendek kata Hinduisasi Tengger terus belangsung.
Namun pada saat yang bersamaan, proses Islamisasi Tengger juga tidak pernah berhenti. Seperti yang dikatakan Ruslandi Haryono, Sekretaris Desa Wonokerto, bahwa upaya untuk menyebarkan Islam di Tengger tidak pernah berhenti sejak tahun 1979 hingga sekarang. Beberapa guru agama Islam didatangkan. Diantaranya adalah Suparni, guru Agama Islam di Wonokerto I dan Ustad Ja’far, kiai muda dari Pesantren Abdul Qodir Jaelani, Kraksan, Probolinggo.
Suparni mengatakan, “Tujuan saya masuk ke Tengger ini di samping karena tugas kedinasan, saya ingin memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Wonokerto ini.” Hal senada juga dikatakan Ustad Ja’far. Namun Ustad Ja’far berkali-kali menyatakan bahwa ia tidak akan memaksakan ajaran Islam secara keras. “Memaksakan kehendak kepada orang lain, terutama kepada orang yang telah beragama dapat melanggar peraturan,” ujar Ustad Ja’far.
Tengger, telah menjadi arena kontestasi diantara beberapa kekuatan luar; agama dan politik. Sebetulnya apa kesalahan warga Tengger sehingga ia harus diarahkan untuk melepas keyakinan dan tradisinya? Bukankah warga Tengger juga manusia seperti kita yang memiliki hak untuk hidup dalam keyakinan dan tradisinya sendiri?

Artikel Terkait :



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Inilah negara kita, katanya Pancasila tapi tidak mau menghargai adat dan tatacara orang lain. Biarkanlah warga tengger hidup sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, jangan dipengaruhi oleh pemikiran sempit seperti itu.

Posting Komentar